Oleh : HS Masanto
Editor : Mahar, Ayun
GRC Advisor, Yayasan Pendidikan Internal Audit (YPIA)
Pada bulan Mei 2022 Kementerian Investasi/BKPM mengeluarkan draft Panduan Investasi Lestari, yang ditujukan sebagai pedoman bagi pelaku usaha, investor, dan pemerintah dalam mendorong investasi yang berkelanjutan.
Dalam panduan tersebut, yang dimaksud dengan investasi berkelanjutan adalah investasi yang mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola (yakni faktor ESG-environmental, social, and governance) dalam pemilihan dan pengelolaan portofolio investasi. Secara internasional, investasi yang memperhatikan ESG ini dinamai responsible investing.
Responsible investing diterapkan dengan mengintegrasikan faktor-faktor environmental, social, & governance (ESG) kedalam proses dan pengambilan keputusan investasi. Faktor-faktor ESG mencakup berbagai isu yang lazimnya tidak dicakup dalam analisis keuangan, meskipun sebenarnya mungkin memiliki implikasi keuangan. Faktor lingkungan atau environment (E) misalnya respon terhadap perubahan iklim, emisi gas rumah kaca, penipisan sumber daya, krisis air dan energi, sampah dan pemborosan, polusi, dan deforestasi. Faktor sosial atau Social (S) mencakup isu hak asasi manusia, perbudakan modern, tenaga kerja anak (child labour), kondisi lingkungan kerja, masyarakat sekitar, dan hubungan industrial dengan karyawan. Faktor tata kelola atau Governance (G) mencakup isu penyuapan dan korupsi, gaji eksekutif, struktur dan keberagaman komisaris dan direksi, donasi dan lobi politik, strategi pajak, serta sistem audit dan manajemen risiko.
Perkembangan ESG Investing
Gerakan ESG investing dimulai pada bulan Januari 2004 ketika mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB, the United Nations), Kofi Annan, menginisiasi prakarsa studi yang melibatkan lembaga-lembaga keuangan ternama dunia, dibawah UN Global Compact yang didukung oleh IFC (International Finance corporation) dan pemerintah Swiss. Tujuan dari prakarsa ini adalah untuk menemukan langkah-langkah untuk mengintegrasikan ESG dalam sektor pasar modal.
Setahun kemudian (2005) prakarsa studi tersebut menerbitkan laporan yang diberi judul “Who Cares Wins” (‘Siapa yang Peduli akan Menang’). Istilah ESG pertama kali dicetuskan dalam laporan ini.
Pada tahun 2006 didirikan organisasi PRI (Principles for Responsible Investment) yang didukung oleh PBB, yang dikenal juga sebagai UN-PRI. PRI bertujuan untuk mendorong integrasi ESG dalam proses analisis dan pengambilan keputusan Investasi. PRI membantu anggotanya yang tersebar di seluruh dunia (yakni investor yang telah menjadi signatory) dalam mengintegrasikan faktor-faktor tersebut. Logo ‘Principles for Responsible Investment’ seperti dibawah ini hanya boleh digunakan oleh para signatory-nya dan telah menjadi simbol pengelolaan investasi yang profesional dan bertanggung jawab.
PRI memiliki lebih dari 4.800 anggota (signatories) yang secara keseluruhan memiliki AUM (asset under management, dana dalam pengelolaan) lebih dari $120 triliun. UN PRI didukung oleh dua lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa, yakni UN Global Compact dan UNEP Finance Initiative.
Signatory PRI terdiri atas tiga golongan yakni, asset owners, asset managers, dan service providers (konsultan). Asset owners adalah institusi yang dipercaya untuk mengelola dana milik beneficiaries dan wajib memberikan pertanggungjawaban kepada beneficiaries. Contoh asset owner misalnya Dana Pensiun (DPPK atau DPLK), Perusahaan Asuransi, Sovereign Wealth Fund (dana publik pemerintah pusat atau daerah), dan lembaga pengelola endowment (dana abadi) seperti perguruan tinggi, perkumpulan olah raga, dan yayasan sosial.
Beneficiaries adalah klien-klien yang mempercayakan pengelolaan uangnya kepada, dan mendapat pertanggungjawaban dari, asset owner. Contoh beneficiaries adalah peserta dana pensiun, peserta asuransi, masyarakat/pemerintah, atau perguruan tinggi/yayasan. Asset manager adalah perusahaan manajer investasi yang memberikan jasa pengelolaan investasi kepada asset owner, misalnya melalui penempatan dalam reksadana atau kontrak investasi secara langsung (diskresi).
Responsible investing semakin menjadi penting karena industri keuangan dan akademia telah menyimpulkan bahwa faktor ESG dapat mempengaruhi risiko dan imbal hasil investasi. Selain itu, benefisiari dan klien semakin menuntut transparansi atas kemana dan bagaimana uang mereka diinvestasikan. Ditambah lagi munculnya berbagai regulasi dan pedoman yang memandang faktor-faktor ESG adalah bagian dari kewajiban fidusiari para investor kepada benefisiari atau klien mereka.
Investasi ESG mulai meningkat tajam pada tahun 2013. Berbagai laporan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2014-2016 perusahaan-perusahaan yang menerapkan parameter ESG dengan baik ternyata menunjukkan kinerja finansial baik juga. Dewasa ini banyak investor menyadari bahwa informasi ESG atas suatu perusahaan adalah sangat penting untuk mengetahui tujuan dan strategi perusahaan, serta kualitas manajemen perusahaan. Saat ini ESG telah menjadi ‘bisnis’ besar.
Perkembangan tersebut disumbang oleh prakarsa Socially Responsible Investment (SRI) yang sudah ada terlebih dahulu. Investasi dalam SRI berdasarkan semata-mata pada kriteria etis dan moralitas saja, dan biasanya menggunakan negative screening, misalnya tidak investasi pada industri senjata api, alkohol, atau tembakau. Sedangkan ESG investing didasarkan pada kepercayaan bahwa faktor-faktor ESG memiliki implikasi finansial. Investasi ESG secara finansial masuk akal, bukan hanya sekedar moralitas saja.
Memenuhi Kewajiban Fidusiari, bukan sekedar Filantropi
Pada awalnya banyak investor yang merasa enggan memperhatikan ESG terutama karena merasa bahwa pemenuhan ESG dianggap beban yang dapat menurunkan kinerja keuangan, sehingga mengganggu pelaksanaan kewajiban fidusia-nya (fiduciary duty) kepada benefisiarinya. Mereka merasa kewajiban fidusia sebuah investor institusional, sebagai asset owner, adalah menghasilkan imbal hasil keuangan sebesar mungkin, tanpa perlu memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan, sosial, maupun soal governance (ada korupsi atau tidak).
Tetapi dalam perkembangannya, banyak bukti yang justru menunjukkan sebaliknya. Saham-saham perusahaan yang maju dalam penerapan ESG ternyata menunjukkan kinerja imbal hasil yang lebih baik dari saham-saham non-ESG. Studi dari the Harvard Business School menyimpulkan bahwa investasi dalam ESG adalah tentang kinerja imbal hasil yang bagus, bukan tentang filantropi. Perusahaan dengan high-sustainability secara dramatis mengungguli perusahaan yang low-sustainability dalam ukuran kriteria pasar modal maupun ukuran akuntansi.
Demikian pula, Yale School of Management menyimpulkan bahwa investasi dalam ESG adalah tentang imbal hasil, bukan tentang pengorbanan. Mereka menemukan adanya korelasi positif yang signifikan antara governance yang bagus dan imbal hasil. Perusahaan dengan governance yang bagus memperoleh imbal hasil yang lebih superior dibanding dengan perusahaan dengan governance buruk.
Di Indonesia, kinerja saham dalam indeks Sri Kehati (terdiri 25 saham pilihan yang ramah lingkungan) selalu menunjukkan kinerja yang lebih bagus dari pada IHSG (indeks harga saham gabungan, yaitu rata-rata keseluruhan saham yang diperdagangkan di BEI) dan indeks LQ45 (45 saham terbaik yang diperdagangkan di BEI). Dari bulan Juni 2009 sampai dengan November 2021, indeks Sri Kehati tumbuh 224,19%, sedangkan IHSG hanya 153,14%, dan LQ 45 hanya tumbuh 137,42%.
Mantan wakil presiden Amerika Serikat Al Gore pada tahun 2015 memimpin projek kajian yang bertujuan menyempurnakan konsep fiduciary duty yang relevan dengan zaman modern, yang didukung oleh UN-PRI dan UNEP. Saat ini, kontribusi terhadap kebaikan lingkungan dan sosial semakin dipandang sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban fidusiari. Dalam pasar keuangan utama, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, integrasi ESG telah dipandang sebagai bagian dari pemenuhan fiduciary duty.
Strategi penerapan ESG Investing
Global Sustainable Investment Alliance yang dalam laporan berkala terakhirnya melaporkan adanya peningkatan dari investasi yang berkelanjutan dan bertanggung-jawab (sustainable and responsible investment) secara global. GSIA menyebutkan bahwa investasi berkelanjutan diterapkan dalam berbagai strategi, terutama ESG integration, impact investing, negative screening, sustainability themed investing.
Dalam ESG integration, investor secara sistematis dan eksplisit memasukkan faktor ESG pada analisis keuangan dalam proses dan pengambilan keputusan investasi. Investasi hanya akan dilakukan pada target-target perusahaan yang paling kuat dalam menerapkan faktor-faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola.
Signatory PRI umumnya menerapkan strategi integrasi ESG ini. Mereka juga menjadi investor aktif, yakni melakukan corporate engagement secara lebih intensif dan menggunakan hak voting-nya untuk mempengaruhi perilaku korporasi. Sebagian signatory juga menerapkan prinsip investing in solutions, yakni melakukan investasi untuk menstimulasi solusi-solusi atas masalah lingkungan dan sosial, misalnya investasi pada perusahaan atau proyek energi terbarukan.
Impact investing adalah strategi investasi untuk mendorong dampak-dampak lingkungan dan sosial yang positif, misalnya investasi rendah carbon atau untuk memajukan masyarakat daerah tertinggal.
Negative screening adalah strategi investasi dengan mengeluarkan perusahaan atau industri tertentu dari daftar investasi (investment universe) yang akan dilakukan. Industri yang sering dikeluarkan dari investment universe (masuk dalam daftar negatif investasi) adalah industri senjata, industri tembako, perjudian, alkohol, dan batubara.
Thematic investing atau sustainability themed investing adalah investasi dalam satu tema atau klas asset yang mendukung solusi lingkungan dan sosial tertentu, misalnya tema investasi yang terkait green building, krisis air, emisi carbon, perubahan iklim, kesetaraan gender, dan keberagaman. Dalam tema investasi ‘krisis air’, misalnya, strategi investasi akan difokuskan pada perusahaan yang menghasilkan solusi terhadap ketersediaan dan kualitas air. Misalnya industri yang terkait dengan irigasi, desalinasi, treatment, metering, pengetesan air, filtrasi, dan pengelolaan limbah air.
Manifestasi gerakan ESG juga terjadi dalam bentuk beberapa divestasi yang didorong oleh kesadaran ESG. Misalnya Rockefeller Fund dan beberapa perusahaan asuransi global (AXA, AIA, AIG, Allianz, Aviva) melakukan divestasi dari industri batubara. Insure our Future melaporkan bahwa paling sedikit ada 65 perusahaan asuransi yang menerapkan kebijakan divestasi dari, atau berkomitmen untuk tidak melakukan investasi pada, industri batubara. Beberapa perusahaan asuransi bahkan menolak untuk menutup pertanggungan pada projek-projek batu bara.
Sebagai komunitas manajer risiko, mereka merasa memiliki tanggung jawab untuk mendukung Paris Agreement dan tindakan global untuk menghindari kerusakan lingkungan. Sebagai investor, mereka memiliki kekuatan untuk mendorong transisi menuju ekonomi rendah karbon. Selain tetap adanya alasan bisnis yang kuat untuk melakukannya.
Pedoman untuk Investor, bukan untuk Pelaku Usaha atau Korporasi
Dari uraian di atas, cukup jelas terlihat bahwa terminologi ESG investing yang semakin dikenal luas sekarang ini merujuk pada investasi di pasar modal atau bursa saham. Pertimbangan faktor ESG tersebut diterapkan oleh para investor dalam memilih saham-saham perusahaan yang menjadi target investasinya.
Investor di pasar modal, misalnya sebuah dana pensiun, menerapkan prinsip ESG investing dengan memilih saham-saham perusahaan yang mengutamakan penyandang disabilitas (impact investing), atau mengeluarkan perusahaan-perusahaan yang memproduksi senjata api, rokok, alkohol, atau perusahaan batubara dari daftar investasinya (negative screening), atau memilih perusahaan yang memiliki skor terbaik dalam penerapan ESG (ESG integration).
Dengan demikian, ESG Investing bukanlah dimaksudkan untuk diterapkan oleh ‘investor’ dalam arti penanam modal sebagai pelaku usaha atau korporasi. Korporasi tidak menjadi salah satu kategori dari signatory PRI. Signatory PRI terdiri atas asset owners, asset managers, dan service providers.
Pelaku usaha (korporasi) adalah target investasi yang di analisis oleh investor di pasar modal. Sebagai target penempatan investasi oleh investor pasar modal, korporasi perlu memamerkan komitmen dan tindakannya dalam menerapkan ESG.
Pelaku usaha tetap perlu mempertimbangkan faktor ESG dalam berbagai aspek usahanya, namun bukan dalam konteks memilih investasi sebagaimana dalam ESG Investing tersebut di atas.
Penanam modal dalam arti pelaku usaha yang akan membangun pabrik sepatu atau industri baja, misalnya, lebih membutuhkan guidance dalam mempertimbangkan ESG dalam pembangunan dan operasi pabriknya. Mereka tidak perlu menerapkan, misalnya, strategi thematic investing atau negative screening.
Untuk Korporasi: triple bottom lines + governance
Pelaku usaha atau korporasi dapat mengintegrasikan faktor-faktor ESG sepanjang siklus rantai pasoknya (supply chain), sepanjang rantai-nilainya (value chain) atau dalam setiap proses bisnis utamanya. Misalnya, korporasi memastikan bahwa faktor ESG dipertimbangkan dalam pemilihan bahan-baku maupun pemasoknya; dalam proses produksi (konversi input-output), termasuk dalam pemilihan teknologi, penggunaan energi, dan penggunaan mesin/peralatan; dalam produk/jasa yang dihasilkan; maupun dalam pemasaran, termasuk dalam pemilihan mitra distribusi dan pelanggan. Dari sisi proses bisnis utama, korporasi bisa memastikan pengutamaan faktor ESG dalam proses logistik, produksi, sumber daya manusia, keuangan, teknologi informasi, legal, general affairs, maupun pelayanan.
Pelaku usaha (korporasi) perlu memastikan bahwa investasi/bisnis yang dijalankannya telah mengutamakan penerapan ESG. Bisnisnya harus menghasilkan kegiatan dan produk yang mendukung pelestarian lingkungan, misalnya dengan mengurangi konsumsi energi atau mengurangi emisi karbon. Bahwa bisnisnya memperhatikan masalah sosial, dengan memberikan gaji yang layak bagi pegawainya, dengan tidak mempekejakan tenaga kerja dibawah umur, dengan memberikan kontribusi terhadap pembangunan masyarakat di mana pabriknya beroperasi. Bahwa perusahaannya dikelola dengan menerapkan governance (tata kelola) korporasi yang baik.
Pengutamaan faktor ESG dalam proses bisnis korporasi pada hakekatnya merupakan pengembangan dari prinsip lama yang sudah menjadi komitmen pelaku usaha, yakni orientasi ‘triple bottom line’ atau 3P (profit, people, planet). Dengan prinsip ini, perusahaan pada masa sekarang dituntut untuk memiliki orientasi yang lebih luas dari sekedar mengejar laba (profit), tetapi juga harus mempunyai tujuan untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat (people) dan lingkungan hidup (planet).
Perusahaan yang memiliki komitmen untuk mencapai orientasi 3P tersebut (triple bottom lines)akan mendapat dukungan dari berbagai stakeholder, mulai dari pemilik perusahaan, masyarakat, pemerintah, mitra bisnis, dan investor di pasar keuangan. Penilaian positif dari investor di pasar keuangan akan memberi manfaat berupa masuknya modal ke dalam perusahaan dengan biaya modal (cost of capital) yang murah.
Dalam perkembangannya, investor menaruh perhatian terhadap suprasistem yang dapat memastikan tercapainya tujuan profit (maupun sasaran people dan planet), yakni sistem corporate governance. Inilah yang kemudian menjadi faktor pertimbangan ketiga, yakni G (governance) dari ESG Investing. Sehingga bagi pelaku usaha, menerapkan investasi lestari adalah menerapkan triple bottom lines dilengkapi dengan membangun good corporate governance. Saat ini, pelaku usaha/korporasi semakin dituntut untuk menerapkan ESG secara serius. Regulasi terkait ESG akan semakin tegas, aktivis-aktivis lingkungan semakin aktif, permintaan pelanggan semakin mencerminkan kesadaran ESG. Investor melihat perusahaan yang serius menerapkan ESG sebagai perusahaan yang siap dimasa yang akan datang. Disamping itu, perkembangan sekarang ini semakin tersedia berbagai pilihan tindakan bisnis yang ramah ESG, misalnya, tersedianya berbagai sumber renewable energy, LED, electric vehicle, dan sharing economy.
Epilog
Langkah BKPM untuk menetapkan Pedoman Investasi Lestari atau Investasi yang Berkelanjutan merupakan langkah yang strategis dan progresif. Pedoman tersebut akan menjadi stimulus untuk mendorong penanam modal dan korporasi di Indonesia untuk bertanggungjawab terhadap keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.
Namun demikian, sebaiknya Pedoman tersebut tidak menggunakan konsep dan prinsip-prinsip investasi lestari sebagaimana konsep ESG Investing yang dikembangkan oleh UN-PRI (Principles for Responsible Investment). Draft Pedoman Investasi Lestari yang sekarang diedarkan banyak mengacu pada konsep ESG Investing ala UN-PRI tersebut.
Sebagaimana diuraikan di atas, berbagai strategi ESG Investing tersebut sejatinya dimaksudkan untuk digunakan oleh investor di pasar modal, bukan investor dalam arti penanam modal atau pelaku usaha. Sedangkan klien utama BKPM adalah investor dalam arti penanam modal/pelaku usaha.
Fokus dari Pedoman Investasi Lestari BKPM sebaiknya pada penyediaan pedoman dan petunjuk (guidance) bagi pelaku usaha atau korporasi dalam mempertimbangkan faktor ESG sepanjang value chain usahanya atau dalam setiap proses bisnisnya. Pedoman ini juga dapat memberikan petunjuk bagaimana pelaku usaha harus melaporkan inisiatif ESG yang dilakukannya. Yang pada hakekatnya adalah petunjuk bagaimana menerapkan orientasi 3P dan membangun good corporate governance.
Pedoman seperti tersebut di atas dapat mengacu kepada standar dari Global Reporting Initiative (GRI), serta pedoman-pedoman yang mengatur ekspektasi terhadap perilaku bisnis yang bertanggung jawab (responsible business conduct), seperti ‘Guidelines for Multinational Enterprises’ dari OECD dan ‘Guiding Principles on Business and Human Rigths’ dari the United Nations.
Pedoman tersebut tidak perlu menguraikan strategi ESG investing, seperti negative screening, impact investing, best in class, dan thematic investing. Strategi tersebut hanya relevan bagi investor di pasar modal.
Pedoman ESG Investing seperti yang ada dalam PRI lebih tepat diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK merupakan pembina dari konstituen PRI, yakni asset owners (dana pensiun, asuransi, bank, dll), asset managers (manajer investasi, pengelola reksadana), dan service providers.